Minggu, 04 November 2018

cerpen_santri_



RESIK
Dari sudut jalan lapangan yang terbentang, seorang perempuan muda terlihat sangat telaten memungut plastik-plastik kecil diantara rerumputan yang tersebar terbentang luas,diantara luas lapangan 60x40m, perempuan itu terkadang berdiri menunduk, ketika menemukan sampah-sampah kecil hingga terlihat bersipuh diantara rerumputan yang tak terlalu panjang menjulang, segar berdiri tegak kuat. Mereka, temen-temanya terbias dibelakang, terpencar kesana-kemari, menyerok,menyapu,dan menenteng bolak-balik plastik besar hitam sampah,menghampiri kesana-kemari  menerima satu,dua,serokan dari teman-temanyamemenuhi lapangan, terpencar. Sesekali teriakan nama-nama yang terucap memanggil seseorang terdengar jelas bersama tawa kesal yang lainya,terlihat akrab dan hangat.
 Mba!, dumasukin dulu ajah sampahnya”  Ucap perempuan datang membawa plastik besar setengah penuh.
Oh mau langsung dibuang?” Tanya perenpuab yang twengah jongkok,memasukan sebongkah sampah dari tangannya yang diambil dari hadapannya.
Ini serok ada mba” Perempuan berbadan gemuk datang memberikan serokan plastik.
Gak usah, gini ajah ko repot”  Jelasnya tersenyum,memasukan kembali sampah yang dikeruk dengan kedua tangannya.
Mba Aisyah dari tadi disini?” Tanya perempuan lebih muda dari Aisyah yang membawa plastik hitan sampah tadi,ikut mengumpulkan sampah yang tak masuk sempurna.
Nggak, lah kalian sih?” Ujarnya melirik, melebarkan lubang plastik.
Kan tadi kita di lapangan atas mba,baru ajah kita datang kesini,emang mba gak terasa cape?”
Masih sama-sama lingkungan pesantren kan?,berarti ada kalian” Ujar perempuan bernama Aisyah, menatap asyik perempuan yang masih memegang erat plastik hitam besar ditangannya.
Liat kalian bareng-bareng, dan kumpul bareng gini tuh pekerjaan apa ajah jadi gak terasa” Lanjutnya melebarkan bibir yang sedikit tipis dan sedikit panjang.
Ah mba Aisyah ini, tapi kok iya sih, aku jadi ngerasa capenya hilang” Perempuan cantik itu mengerutkan alis,heran.
Kan kita bareng-bareng” Balas Aisyah.
Bukan karena itu mba”
Lah terus?” Tanya Aisyah heran
Karena liat mba” Ucapnya merayu menyipitkan mata. Aisyah menahan tawanya, sarung yang dikenakannya bergelombang tertepa angin,tanganya ia jauhkan dari badan dan bajunya yang berwarna putih bersih, sesekali ia kepakan jari-jemarinya agar tidak terlalu kotor,perempuan yang membuang plastik sanpah besar segera pergi mengangkat dengan sedikit bertenaga, Aisyah berjalan menghampiri sekumpulan teman-temanya yang masih menetap,
            Jumat menjadikan kesegaran tersendiri, meski terkadang menjadi waktu untuk istirahat total, para santriwati mulai bergantian datang. Wajah mereka sedikit terlihat mengkilap basah karena keringat. Sinar matahari rupanya membakar wajah-wajah berseri. Mulai merasa otot-otot merenggang karena dua jam yang lalu.
Ukhti Ara!”  Teriak suara diujung jalan memenggil perempuan yang tengahberjakan tergesa, Perempuan itu membalikan badan, menengok siapa yang memanggilnya
Eh Aisyah, ada apa Syah?” Tanyanya, Aisyah bersalman mencim punggung tangan ukhti Ara sebagai pembina belajarnya.
Ukhti nanti malam bisa bahas bareng tentang hisab harta nggak?” Tanya aisyah berharap
“Insya Allah bisa” jawabnya mantap
Oh iya nanti sekalian ukhti mau ngomong sama kamu, kalo ada sekalian ajak dia, bisa gak?”
Nanti saya Tanya dia dulu ukh, mau ngomomgin apa ukh?” Tanya Aisyah penasaran.
 “Nanti malam saya kasih tau” Jelasnya tersenyum manis menyembunyikan sesuatu.
*****
“Aisyah!, nanti malam jadwal kamu ya” Ucap seorang perempuan di depan cermin panjang berukuran satu badan “Jadwal apa Nar?” Suara Aisyah menyahut di ujung sebrang kamar tempat lemarinya tegak. “Roan malam ini”
 “Sama siapa?”
“Rifha” Teriak peremuan tadi tidak terlalu jelas, karena mulutnya menggigit jarum untuk mengenakan jilbab yang sedari tadi bersiap-siap rapi menuju masjid, kitab tak terlalu tebal sebesar 8x4 cm terselip di ketiak kanan, tangan nya memutar jarum memperkencang untaian pada kain jilbab.
“Oh ya, pas banget” Jawab Aisyah mengiyakan
“Pas banget kenapa?” Tanya perempuan tadi berbalik badan mengalihkan kitab di dekapannya.
“Mau ada kumpulan sama ukhti Ara, Rifha juga ikut tapi dia belum tau” Jelas Aisyah menatap kembali rak buku teepat di atas lemari di hadapannya.
            Kegiatan roan (bersih-bersih) adalah kegiatan rutinitas setiap malam, beberapa akan mewakili setiap kamar untuk setiap malamnya, merelakan meninggalkan pengajian bersama dengan menetap berusaha membuat komplek dan setiap kamar. Setelah adzan maghrib berlalu, semua santri boleh meninggalkan setiap kamar sebelum hitungan terdengar dari setiap speker hingga 10, kecuali mereka yang mewakili untuk roan malam, keluar bersiap diri, menghampiri sekretariat komplek guna mengambil alat-alat kebersihan. Aula kecil di tengah komplek diantara kamar-kamar yang mengelilingi, disiram tak setengah-setengah, diserok berkali-kali agar tidak menggenang, dua yang lain mengangkat plastik-plastik hitam dari deretan tong sampah di depan setiap kamar.
            Membuang delapan kantong plastik hitam besar di setiap malamdengan keadaan penuh sesak. Tak terbayang seberapa banyak sampah-sampah terkumpul jika satu pesantren yang terdiri 15 komplek berisi 105 kamar mengeluarkan sampah setiap hari tanpa henti.Terlebih berfikir untuk negara entah seberapa sesak sampah-sampah memenuhi daratan kehidupan, bisa-bisa kita tersingkirkan karena kepadatan sampah dari diri kita sendiri.
“Fha, ukhti ajak rapat jam setengah sembilan nanti” Aisyah memberiyahu Rifha yang tengah menyerok mundur air yang menyirami keramik aula.
“Ukhti Ara? Masalah apa?” Jawabnya acuh dari pandangan Aisyah.
“Aku kurang tau, kayanya sih masalah acara pondok” Ucap Aisyah yang sama menyerok air tepat di belakang Rifha.
“ Pondok mau ada acara apa?” Ujar Ara singkat
“Denger-denger tamu pendukung acara pondok nanti bakal kesini”
“Pendukung?” Rifha menoleh heran
“Kaya sponsor gitu”
 “Aisyah, ko sampah di depan kamar sekretariat belum dibuang?” Ujarnya berhenti menyerok air.
“Hah?? Bukannya udah dibuang sama anak kamar dua?” Aisyah ikut memberhentikan tongkat serok air di tangannya.
 “Ya sudah nanti di buang sama kita saja”
“Syah, tugas kita cuma ngepel” Tekan Rifha kesal.
“Baiknya juga buat kita kok Ra” Jelas Aisyah tenang
“Jangan terlalu baik juga Syah,kalau nanti gini terus mereka bakal keenakan” Sangkal Rifha melunjak emosi.
“Cuma satu plastik Fha, sekedar sekali jalan”
“Kamu yang niat, kamu sendiri aja” Rifha pergi menyudahi pekerjaannya yang belum selesai sempurna, serok airnya langsung di tempatkan di depan kamar sekretariat, masuk kedalam kamar meninggalkan Aisyah dan yang lain.
            Adzan terdengar menyeru, tepat pukul 07.00 WIB waktu Aisyah datang. Aisyah menyelesaikan dengan tepat, ia coba mengeluarkan plastik  sampah hitam yang tak begitu penuh, memilih membuang sendiri, meski sedikit berat ia berusaha membuang menuju lapangan depan sekolah, tempat pembuangan sampah setiap roan. Walau terkadang sempoyongan menarik plastik sampah berisi plastik, kertas, hingga bekas makanan, bahkan berisi air menetes-netes dari bawah, namun ia tuntaskan dengan baik.
Aisyah datang tepat waktu sembilan lebih dua puluh lima menit bersama Rifha, keadaan masih sepi, ukhti Ara pun hanya berbolak-balik masuk keluar masuk kantor pesantren, kadang ukhti Ara hanya mengucap “Nunggu yang lain kumpul dulu Syah” Tak lama ia meneruskan ”Sabar ya Syah, Fha, yang lainnya belum datang?” Aisyah hanya dia menggeleng menaikkan pundaknya, Rifha masih diam membuang muka dari Aisyah, keadaan yang sepi menjadikan hati Aisyah lebih sepi dan kacau, besar sekali rasa tidak enak kepada Rifha terlukis jelas cemas dari bola matanya. Mereka, yang mungkin  dimaksud ukhti Ara tadi mulai berdatangan, ikut duduk diantara Aisyah dan Rifha, membuat lingkaran kecil menghadap tembok depan berjendela. “Assalamu’alaikum, saya buka acara ini, sebelumnya terima kasih dan meminta maaf barangkali waktu kalian terganggu karena diadakannya acara ini, to the point aja ya, jadi berhubung ini baru memasuki bulan oktober, kita akan mengadakan acara besar, pasti kalian udah tau lah” Ukhti Ara duduk menjelaskan diantara perhatian mereka.
“Hari santri ukh?” Tanya seorang dari tengah lingkaran.
“Iya benar, tahun ini insya allah acara peringatn hari santri akan di dukung oleh salah satu pihak dari bank swasta, jadi akan lebih meriah dari tahun sebelumnya, buat inti bicara kita itu adalah saya perwakilan dari semua jajaran semua pengurus akan meminta data semua santri dari setiap komplek, untuk apa? Untuk memberi penghargaan kepada santri teladan pondok pesantren kita” Lanjut ukhti Ara mengejutkan semua yang hadir, Rifha yang sedari tadi diam acuh menoleh terkejut dengan pernyataan ukhti Ara tadi.
 “Siapa yang memutuskan ukh?” Ajuan pertanyaan dari suara Rifha.
“Semua guru sekolah dan pihak pengurus” Jawab ukhti Ara santai dan mantap. Rifha diam memandang kosong ukhti Ara duduk. “Gimana Fha? Ada usulan?” Tanya ukhti Ara mengejutkan Rifha dari lamunanya, Rifha hanya menggeleng tidak ada apa-apa.

******
            Semua santriwati terpencar menyusuri pandangan mencari tempat untuk duduk memakai sepatu, tepi tangga kanan kiri dan depan masjid di penuhi seragam yang berbeda-beda dikenakan setiap santri, karena sekoah yang berbeda-beda dari SMP. MTs, SMA, MA, SMK, MMA(khusus agama) menjadikan perbedaan sistem seragam agar tidak membingungkan saat mengawasi setiap siswa sekolah masing-masing. Dari kejauhan ujung jalan sudah terlihat siap empat orang penjaga bersiaga dari perwakilan osis setiap sekolah, menjaga dua tong sampah di hadapan mereka, karena mereka yang akan menggembor-gemborkan peduli sampah meski bukan waktu roan malam atau roan kubro bersama.
“Satu orang satu sampah!” Teriak mereka berkali-kali memperingatkan setiap orang untuk membawa secuil satu sampah, membantu memenuhi tong sampah.
            Tak banyak dari mereka memutari halaman mencari-cari satu sampah, terkadang tak hasil menyerah membawa batu kecil agar semata-mata terhindar dari catatan point hukuman dari sekolah dan pesantren.
Bel  berbunyi dengan nada berbeda-beda, membuat gembira mereka yang tengah jenuh di dalam kelas, rasa bosan menanti jarum panjang jam menuntun jarum pendek terasa sangat lama sekali, jarum jam pendek itu menetap pas jam 03.00. suasana keembali ramai, langit mulai terlihat redup, suara luconan  semua siswa di beberapa jalan terdengar riwuh ribut  tak jelas.
*******
            Tepat 22 oktober, hari dilahirkan para pejuang syuhada negara, ramai berbungah menggetarkan hati tak percaya, disana-sini lagu jargon pesantren nusantara diputar berulang kali, bendera terlukis bocah perempuan dan lelaki berpeci berkibar disetiap genggaman tangan, lapangan yang selalu terjaga dari warna-warna lain menjadi acuh, segala faryasi warna sedang menghiasi meriahnya kemenangan, kompak bersarung dan baju putih di dukung lebih dengan kerudung almamater pesantren berlambang bumi bersayap, semakin menambah mengerti pengharggan santri sebenarnya, bendera merah putih berkibar tangguh berjejer bersama bendera hijau tanda dari pesantren. Sambutan demi sambutan disampaikan dengan pesan penuh harapan, balon-balon merah yang telah terikat menjadi satu terbang tinggi setelah pemotongan tali bersama-sama.
Paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Raya, Ayo mondok, Yalalwathon berturut-turut tanpa cela, MC melanjutkan mengumumkan acara. “Acara selanjutnya, penghargaan kepada santri teladan putra dan putri pondok pesantren AL-MASRURIYAH” Suara MC lantang membawakan. “Kepada santri putri, Aisyah Aini Uzma untuk maju ke depan” MC memanggil bersama-samma, membuat riuh tepuk tangan kembali terdengar semua peserta upacara menoleh kesana-kemari mencari nama Aisyah Aini Uzma dimana, Aisyah maju menunduk di depan antara rekan-rekan santri yang hadir, tak menyangka dengan kenyataan yang diterima, dadanya mengembang kempis ragu untuk maju sebagai teladan. Abah, sebagai ketua yayasan pondok pesantren menyerahkan penghargaan kepada Aisyah dan satu lelaki perwakilan dari ribuan santriwan, begitu pun Aisyah, menjadi yang terpilih diantara beribu santriwati yang menempat.
            Rifha diujung tepi terlihat diam memandang tajam Aisyah dan lainnya tengah berseri foto bersama, sementara ukhti Ara membimbing beberapa relawan yang rela tak mengikuti pawai bersama, membersihkan kembali lapangan tanpa jeda istirahat, alat-alat kebersihan mulai siap terlihat ditangan lelaki muda dari radio atas pondok pesantren, membagikan kepada mereka yang telah siaga menjernihkan kembali lapangan menjadi segar.
“Rifha, Aisyah, Rida ini bagian sapunya” Panggil ukhti Ara memberikan beberapa sapu lidi.
“Ini Rif, mau megang sapu lidi atau bawa plastik?” Tanya ukhti Ara menawarkan sebuah sapu lidi dan beberapa lipatan kantong plastik di kedua tangannya.
“Ukhti, Rifha mau ngomong sesuatu” Ucap Rifha tegas.
“Iya sok disini aja” Jawab ukhti Ara datar.
“Ukh! Ukhti bilang santri teladan persetujuan semua guru, kenapa harus Aisyah yang harus dipilih?” Ujar Rifha tegas tak terima.
“Ini mungkin aja, Aisyah maju, tapi persetujuan dan perseteruan pengurus pondok, bukan persetujuan para guru” Lanjutnya menekan.
“Ada hak apa kamu ngomong gini?” Ukhti Ara menjawab dengan tegas.
“Apa urusan kamu sampai kamu membangkang tidak terima kaya gini?” Ukhti Ara kembali bertanya geram.
“Aisyah anak biasa aja ukh, bahkan dia gak pernah masuk 10 besar selama dua tahun ini, pasti guru-guru tak betul dong tentang masalah Aisyah yang satu ini, kenapa dia jadi teladan, teladan apa ukh?” Rifha menjelaskan cetus tak terima.
“Karena kamu berambisi ingin maju kan?”
“Kamu memang anak pintar, Aisyah tak sebanding dengan otak kamu, kamu selalu menduduki peringkat 3 besar dan Aisyah?, tak pernah sama sekali masuk walau 10 besar, kamu dari keluarga punya, Aisyah lebih, tapi Aisyah mempunyai insting lebih untuk lingkungnnya” Geram ukhti Ara
“Ambil sampah di depanmu, kamu berani?, kamu mau? Tak berguna otakmu secair air mengalir tapi gak berani sama kotor, kehidupan sehari-hari kita selalu diiringi dengan kotoran, kotoran berwujud di depanmu saja kau tak rela menyentuh, apalagi kekotoran hatimu?, Rif, orang yang peka adalah orang yang peduli terhadap lingkungan, jabatan dan kepintaran setinggi sebesar apa tidak berani dengan kotor, tidak akan menjadi contoh sebagai pemimpin yang berbaur dengan masyarakat, karena kita semua di dunia ini adalah pemimpin, jika di dunia ini melahirkan semua orang seperti Aisyah, negara kita tidak bercampur lebur dengan sampah-sampah, tapi ketika seperti kamu memenuhi isi dunia, tak akan peduli bumi rusak karena sikap sendiri” Ukhti Ara menjelaskan penuh nada tekan dan kesal geram. Rifha yang semula bernafas tersenggal-senggal termaksimalkan emosi, menjadi lemas gemetar, wajahnya pucat berkeringat dingin.
“Seimbangkan otakmu dengan kebersihan, di dunia ini tak hanya membutuhkan para ilmuwan sarjawan, tapi sangat membutuhkan kepekaan dan kesadaran yang tinggi dari masing-masing hati. Itu alasan kenapa Aisyah menjadi teladan, kalau memang kamu bersikeras ingin tau” Ukhti Ara meninggalkan keadaan dengan cepat, Rifha lemas sejadinya, menumpahkan butiran deras dari bendungan yang tak lagi kuat tertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar