RESIK
Dari sudut jalan
lapangan yang terbentang, seorang perempuan muda terlihat sangat telaten
memungut plastik-plastik kecil diantara rerumputan yang tersebar terbentang luas,diantara
luas lapangan 60x40m, perempuan itu terkadang berdiri menunduk, ketika
menemukan sampah-sampah kecil hingga terlihat bersipuh diantara rerumputan yang
tak terlalu panjang menjulang, segar berdiri tegak kuat. Mereka, temen-temanya
terbias dibelakang, terpencar kesana-kemari, menyerok,menyapu,dan menenteng
bolak-balik plastik besar hitam sampah,menghampiri kesana-kemari menerima satu,dua,serokan dari
teman-temanyamemenuhi lapangan, terpencar. Sesekali teriakan nama-nama yang
terucap memanggil seseorang terdengar jelas bersama tawa kesal yang
lainya,terlihat akrab dan hangat.
“Mba!, dumasukin dulu ajah
sampahnya” Ucap perempuan datang
membawa plastik besar setengah penuh.
“Oh
mau langsung dibuang?” Tanya perenpuab yang twengah jongkok,memasukan sebongkah
sampah dari tangannya yang diambil dari hadapannya.
“Ini
serok ada mba” Perempuan
berbadan gemuk datang memberikan serokan plastik.
“Gak
usah, gini ajah ko repot”
Jelasnya
tersenyum,memasukan kembali sampah yang dikeruk dengan kedua tangannya.
“Mba
Aisyah dari tadi disini?” Tanya perempuan lebih muda dari Aisyah yang membawa
plastik hitan sampah
tadi,ikut mengumpulkan sampah yang tak masuk sempurna.
“Nggak,
lah kalian sih?” Ujarnya
melirik, melebarkan lubang plastik.
“Kan
tadi kita di lapangan atas mba,baru ajah kita datang kesini,emang mba gak terasa
cape?”
“Masih
sama-sama lingkungan pesantren kan?,berarti ada kalian” Ujar perempuan bernama
Aisyah, menatap asyik perempuan yang masih memegang erat plastik hitam besar
ditangannya.
“Liat
kalian bareng-bareng, dan kumpul bareng gini tuh pekerjaan apa ajah jadi gak
terasa” Lanjutnya
melebarkan bibir yang sedikit tipis dan sedikit panjang.
“Ah
mba Aisyah ini, tapi kok iya sih, aku jadi ngerasa capenya hilang” Perempuan cantik itu
mengerutkan alis,heran.
“Kan
kita bareng-bareng” Balas
Aisyah.
“Bukan
karena itu mba”
“ Lah
terus?” Tanya Aisyah heran
“Karena
liat mba” Ucapnya
merayu menyipitkan
mata. Aisyah menahan tawanya, sarung
yang dikenakannya bergelombang tertepa angin,tanganya ia jauhkan dari badan dan
bajunya yang berwarna putih bersih, sesekali ia kepakan jari-jemarinya agar
tidak terlalu kotor,perempuan yang membuang plastik sanpah besar segera pergi
mengangkat dengan sedikit bertenaga, Aisyah berjalan menghampiri sekumpulan
teman-temanya yang masih menetap,
Jumat
menjadikan kesegaran tersendiri, meski terkadang menjadi waktu untuk istirahat
total, para
santriwati mulai bergantian datang. Wajah mereka sedikit terlihat mengkilap
basah karena keringat. Sinar matahari rupanya membakar wajah-wajah berseri.
Mulai merasa otot-otot merenggang karena dua jam yang lalu.
“Ukhti
Ara!” Teriak suara diujung jalan memenggil
perempuan yang tengahberjakan tergesa, Perempuan itu membalikan badan, menengok
siapa yang memanggilnya
“Eh
Aisyah, ada apa Syah?” Tanyanya,
Aisyah bersalman mencim punggung tangan ukhti Ara sebagai pembina belajarnya.
“Ukhti
nanti malam bisa bahas bareng tentang hisab harta nggak?” Tanya aisyah berharap
“Insya
Allah bisa”
jawabnya mantap
“Oh
iya nanti sekalian ukhti mau ngomong sama kamu, kalo ada sekalian ajak dia, bisa gak?”
“Nanti
saya Tanya dia dulu ukh, mau ngomomgin apa ukh?” Tanya Aisyah penasaran.
“Nanti malam saya
kasih tau” Jelasnya tersenyum manis menyembunyikan sesuatu.
*****
“Aisyah!, nanti malam jadwal kamu ya” Ucap seorang
perempuan di depan cermin panjang berukuran satu badan “Jadwal apa Nar?” Suara
Aisyah menyahut di ujung sebrang kamar tempat lemarinya tegak. “Roan malam ini”
“Sama siapa?”
“Rifha” Teriak peremuan tadi tidak terlalu jelas, karena
mulutnya menggigit jarum untuk mengenakan jilbab yang sedari tadi bersiap-siap
rapi menuju masjid, kitab tak terlalu tebal sebesar 8x4 cm terselip di ketiak
kanan, tangan nya memutar jarum memperkencang untaian pada kain jilbab.
“Oh ya, pas banget” Jawab Aisyah mengiyakan
“Pas banget kenapa?” Tanya perempuan tadi berbalik badan
mengalihkan kitab di dekapannya.
“Mau ada kumpulan sama ukhti Ara, Rifha juga ikut tapi
dia belum tau” Jelas Aisyah menatap kembali rak buku teepat di atas lemari di
hadapannya.
Kegiatan
roan (bersih-bersih) adalah kegiatan rutinitas setiap malam, beberapa akan
mewakili setiap kamar untuk setiap malamnya, merelakan meninggalkan pengajian
bersama dengan menetap berusaha membuat komplek dan setiap kamar. Setelah adzan
maghrib berlalu, semua santri boleh meninggalkan setiap kamar sebelum hitungan
terdengar dari setiap speker hingga 10, kecuali mereka yang mewakili untuk roan
malam, keluar bersiap diri, menghampiri sekretariat komplek guna mengambil
alat-alat kebersihan. Aula kecil di tengah komplek diantara kamar-kamar yang
mengelilingi, disiram tak setengah-setengah, diserok berkali-kali agar tidak
menggenang, dua yang lain mengangkat plastik-plastik hitam dari deretan tong
sampah di depan setiap kamar.
Membuang
delapan kantong plastik hitam besar di setiap malamdengan keadaan penuh sesak.
Tak terbayang seberapa banyak sampah-sampah terkumpul jika satu pesantren yang
terdiri 15 komplek berisi 105 kamar mengeluarkan sampah setiap hari tanpa
henti.Terlebih berfikir untuk negara entah seberapa sesak sampah-sampah
memenuhi daratan kehidupan, bisa-bisa kita tersingkirkan karena kepadatan
sampah dari diri kita sendiri.
“Fha, ukhti ajak rapat jam setengah sembilan nanti”
Aisyah memberiyahu Rifha yang tengah menyerok mundur air yang menyirami keramik
aula.
“Ukhti Ara? Masalah apa?” Jawabnya acuh dari pandangan
Aisyah.
“Aku kurang tau, kayanya sih masalah acara pondok” Ucap
Aisyah yang sama menyerok air tepat di belakang Rifha.
“ Pondok mau ada acara apa?” Ujar Ara singkat
“Denger-denger tamu pendukung acara pondok nanti bakal
kesini”
“Pendukung?” Rifha menoleh heran
“Kaya sponsor gitu”
“Aisyah, ko sampah
di depan kamar sekretariat belum dibuang?” Ujarnya berhenti menyerok air.
“Hah?? Bukannya udah dibuang sama anak kamar dua?” Aisyah
ikut memberhentikan tongkat serok air di tangannya.
“Ya sudah nanti di
buang sama kita saja”
“Syah, tugas kita cuma ngepel” Tekan Rifha kesal.
“Baiknya juga buat kita kok Ra” Jelas Aisyah tenang
“Jangan terlalu baik juga Syah,kalau nanti gini terus
mereka bakal keenakan” Sangkal Rifha melunjak emosi.
“Cuma satu plastik Fha, sekedar sekali jalan”
“Kamu yang niat, kamu sendiri aja” Rifha pergi menyudahi
pekerjaannya yang belum selesai sempurna, serok airnya langsung di tempatkan di
depan kamar sekretariat, masuk kedalam kamar meninggalkan Aisyah dan yang lain.
Adzan
terdengar menyeru, tepat pukul 07.00 WIB waktu Aisyah datang. Aisyah
menyelesaikan dengan tepat, ia coba mengeluarkan plastik sampah hitam yang tak begitu penuh, memilih
membuang sendiri, meski sedikit berat ia berusaha membuang menuju lapangan
depan sekolah, tempat pembuangan sampah setiap roan. Walau terkadang
sempoyongan menarik plastik sampah berisi plastik, kertas, hingga bekas
makanan, bahkan berisi air menetes-netes dari bawah, namun ia tuntaskan dengan
baik.
Aisyah datang
tepat waktu sembilan lebih dua puluh lima menit bersama Rifha, keadaan masih
sepi, ukhti Ara pun hanya berbolak-balik masuk keluar masuk kantor pesantren,
kadang ukhti Ara hanya mengucap “Nunggu yang lain kumpul dulu Syah” Tak lama ia
meneruskan ”Sabar ya Syah, Fha, yang lainnya belum datang?” Aisyah hanya dia
menggeleng menaikkan pundaknya, Rifha masih diam membuang muka dari Aisyah,
keadaan yang sepi menjadikan hati Aisyah lebih sepi dan kacau, besar sekali
rasa tidak enak kepada Rifha terlukis jelas cemas dari bola matanya. Mereka,
yang mungkin dimaksud ukhti Ara tadi
mulai berdatangan, ikut duduk diantara Aisyah dan Rifha, membuat lingkaran
kecil menghadap tembok depan berjendela. “Assalamu’alaikum, saya buka acara
ini, sebelumnya terima kasih dan meminta maaf barangkali waktu kalian terganggu
karena diadakannya acara ini, to the point aja ya, jadi berhubung ini baru
memasuki bulan oktober, kita akan mengadakan acara besar, pasti kalian udah tau
lah” Ukhti Ara duduk menjelaskan diantara perhatian mereka.
“Hari santri ukh?” Tanya seorang dari tengah lingkaran.
“Iya benar, tahun ini insya allah acara peringatn hari
santri akan di dukung oleh salah satu pihak dari bank swasta, jadi akan lebih
meriah dari tahun sebelumnya, buat inti bicara kita itu adalah saya perwakilan
dari semua jajaran semua pengurus akan meminta data semua santri dari setiap
komplek, untuk apa? Untuk memberi penghargaan kepada santri teladan pondok
pesantren kita” Lanjut ukhti Ara mengejutkan semua yang hadir, Rifha yang
sedari tadi diam acuh menoleh terkejut dengan pernyataan ukhti Ara tadi.
“Siapa yang
memutuskan ukh?” Ajuan pertanyaan dari suara Rifha.
“Semua guru sekolah dan pihak pengurus” Jawab ukhti Ara
santai dan mantap. Rifha diam memandang kosong ukhti Ara duduk. “Gimana Fha?
Ada usulan?” Tanya ukhti Ara mengejutkan Rifha dari lamunanya, Rifha hanya
menggeleng tidak ada apa-apa.
******
Semua
santriwati terpencar menyusuri pandangan mencari tempat untuk duduk memakai
sepatu, tepi tangga kanan kiri dan depan masjid di penuhi seragam yang
berbeda-beda dikenakan setiap santri, karena sekoah yang berbeda-beda dari SMP.
MTs, SMA, MA, SMK, MMA(khusus agama) menjadikan perbedaan sistem seragam agar
tidak membingungkan saat mengawasi setiap siswa sekolah masing-masing. Dari
kejauhan ujung jalan sudah terlihat siap empat orang penjaga bersiaga dari perwakilan
osis setiap sekolah, menjaga dua tong sampah di hadapan mereka, karena mereka
yang akan menggembor-gemborkan peduli sampah meski bukan waktu roan malam atau
roan kubro bersama.
“Satu orang satu sampah!” Teriak mereka berkali-kali
memperingatkan setiap orang untuk membawa secuil satu sampah, membantu memenuhi
tong sampah.
Tak
banyak dari mereka memutari halaman mencari-cari satu sampah, terkadang tak
hasil menyerah membawa batu kecil agar semata-mata terhindar dari catatan point
hukuman dari sekolah dan pesantren.
Bel berbunyi dengan nada berbeda-beda, membuat
gembira mereka yang tengah jenuh di dalam kelas, rasa bosan menanti jarum
panjang jam menuntun jarum pendek terasa sangat lama sekali, jarum jam pendek
itu menetap pas jam 03.00. suasana keembali ramai, langit mulai terlihat redup,
suara luconan semua siswa di beberapa
jalan terdengar riwuh ribut tak jelas.
*******
Tepat 22
oktober, hari dilahirkan para pejuang syuhada negara, ramai berbungah
menggetarkan hati tak percaya, disana-sini lagu jargon pesantren nusantara
diputar berulang kali, bendera terlukis bocah perempuan dan lelaki berpeci
berkibar disetiap genggaman tangan, lapangan yang selalu terjaga dari
warna-warna lain menjadi acuh, segala faryasi warna sedang menghiasi meriahnya
kemenangan, kompak bersarung dan baju putih di dukung lebih dengan kerudung
almamater pesantren berlambang bumi bersayap, semakin menambah mengerti
pengharggan santri sebenarnya, bendera merah putih berkibar tangguh berjejer
bersama bendera hijau tanda dari pesantren. Sambutan demi sambutan disampaikan
dengan pesan penuh harapan, balon-balon merah yang telah terikat menjadi satu
terbang tinggi setelah pemotongan tali bersama-sama.
Paduan suara
menyanyikan lagu Indonesia Raya, Ayo mondok, Yalalwathon berturut-turut tanpa
cela, MC melanjutkan mengumumkan acara. “Acara selanjutnya, penghargaan kepada
santri teladan putra dan putri pondok pesantren AL-MASRURIYAH” Suara MC lantang
membawakan. “Kepada santri putri, Aisyah Aini Uzma untuk maju ke depan” MC
memanggil bersama-samma, membuat riuh tepuk tangan kembali terdengar semua
peserta upacara menoleh kesana-kemari mencari nama Aisyah Aini Uzma dimana,
Aisyah maju menunduk di depan antara rekan-rekan santri yang hadir, tak
menyangka dengan kenyataan yang diterima, dadanya mengembang kempis ragu untuk
maju sebagai teladan. Abah, sebagai ketua yayasan pondok pesantren menyerahkan
penghargaan kepada Aisyah dan satu lelaki perwakilan dari ribuan santriwan,
begitu pun Aisyah, menjadi yang terpilih diantara beribu santriwati yang
menempat.
Rifha
diujung tepi terlihat diam memandang tajam Aisyah dan lainnya tengah berseri
foto bersama, sementara ukhti Ara membimbing beberapa relawan yang rela tak
mengikuti pawai bersama, membersihkan kembali lapangan tanpa jeda istirahat, alat-alat
kebersihan mulai siap terlihat ditangan lelaki muda dari radio atas pondok
pesantren, membagikan kepada mereka yang telah siaga menjernihkan kembali
lapangan menjadi segar.
“Rifha, Aisyah, Rida ini bagian sapunya” Panggil ukhti
Ara memberikan beberapa sapu lidi.
“Ini Rif, mau megang sapu lidi atau bawa plastik?” Tanya
ukhti Ara menawarkan sebuah sapu lidi dan beberapa lipatan kantong plastik di
kedua tangannya.
“Ukhti, Rifha mau ngomong sesuatu” Ucap Rifha tegas.
“Iya sok disini aja” Jawab ukhti Ara datar.
“Ukh! Ukhti bilang santri teladan persetujuan semua guru,
kenapa harus Aisyah yang harus dipilih?” Ujar Rifha tegas tak terima.
“Ini mungkin aja, Aisyah maju, tapi persetujuan dan
perseteruan pengurus pondok, bukan persetujuan para guru” Lanjutnya menekan.
“Ada hak apa kamu ngomong gini?” Ukhti Ara menjawab
dengan tegas.
“Apa urusan kamu sampai kamu membangkang tidak terima
kaya gini?” Ukhti Ara kembali bertanya geram.
“Aisyah anak biasa aja ukh, bahkan dia gak pernah masuk
10 besar selama dua tahun ini, pasti guru-guru tak betul dong tentang masalah
Aisyah yang satu ini, kenapa dia jadi teladan, teladan apa ukh?” Rifha
menjelaskan cetus tak terima.
“Karena kamu berambisi ingin maju kan?”
“Kamu memang anak pintar, Aisyah tak sebanding dengan
otak kamu, kamu selalu menduduki peringkat 3 besar dan Aisyah?, tak pernah sama
sekali masuk walau 10 besar, kamu dari keluarga punya, Aisyah lebih, tapi
Aisyah mempunyai insting lebih untuk lingkungnnya” Geram ukhti Ara
“Ambil sampah di depanmu, kamu berani?, kamu mau? Tak
berguna otakmu secair air mengalir tapi gak berani sama kotor, kehidupan
sehari-hari kita selalu diiringi dengan kotoran, kotoran berwujud di depanmu
saja kau tak rela menyentuh, apalagi kekotoran hatimu?, Rif, orang yang peka
adalah orang yang peduli terhadap lingkungan, jabatan dan kepintaran setinggi
sebesar apa tidak berani dengan kotor, tidak akan menjadi contoh sebagai
pemimpin yang berbaur dengan masyarakat, karena kita semua di dunia ini adalah
pemimpin, jika di dunia ini melahirkan semua orang seperti Aisyah, negara kita
tidak bercampur lebur dengan sampah-sampah, tapi ketika seperti kamu memenuhi
isi dunia, tak akan peduli bumi rusak karena sikap sendiri” Ukhti Ara
menjelaskan penuh nada tekan dan kesal geram. Rifha yang semula bernafas
tersenggal-senggal termaksimalkan emosi, menjadi lemas gemetar, wajahnya pucat
berkeringat dingin.
“Seimbangkan otakmu dengan kebersihan, di dunia ini tak
hanya membutuhkan para ilmuwan sarjawan, tapi sangat membutuhkan kepekaan dan
kesadaran yang tinggi dari masing-masing hati. Itu alasan kenapa Aisyah menjadi
teladan, kalau memang kamu bersikeras ingin tau” Ukhti Ara meninggalkan keadaan
dengan cepat, Rifha lemas sejadinya, menumpahkan butiran deras dari bendungan
yang tak lagi kuat tertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar