Pertama kali Tersirat
Pagi
ini sinar tak begitu terang, begitupun tak redup, pukul 07.15 hari pagi untukku
melakukan keasyikan suasana pagi, kembali memandang dan menikmati awan putih
biru dengan cerah karena sinar sang surya. Gelas kopi di tangan terasa hangat
ku genggam, sedikit demi sedikit bibir menyeruput menikmati manis pahit kopi
yang tak sekali-kali teraduk oleh jari tengahku. Hmm.., nikmat sekali
kehangatan yang tak begitu terang. “semua sudah beres” Gumamku tersenyum.
Buku-buku dan segala kebutuhan harus menjadi kewajiban tertata sebelum masuk
mengantarkan kembali kepada para syuhada disana. Di kampus aku mulai keseharian
tanpa henti, yah meski terkadang lelah dan menyerah tapi…entah hal itu pudar
seketika Amila datang dengan ramah, dari sudut jalan sudah jelas betul Amila
bersama teman-temannya mendatangi kampus. Rambut hitam lurus sebahunya hitam
pekat alami, lesungnya menghiasi pipi kiri ketika tersenyum menyapa seseorang. “Nur!,
Batutah? Apa kamu tak tertarik dibagian Colombus aja?” Sahut Andre melihat
sedikit skripsiku.“Beliau lebih dari yang kamu tawarkan” Jawabku menarik kertas
skripsiku.“Tapi tahap terakhir pak Yoseph, kamu mau debat?”“kalau emang iya,
aku yang menang” Ujarku tersenyum kecil penuh percaya.
Skripsi terakhir benar-benar
menguras tenaga, emosi dan fikiranku. Andre benar, rupanya pak Yoseph senang
berdebat karena beranggap tokoh yang ku pilih skripsi terakhir sejarah ku
adalah salah satu tokoh islam yang menurutnya dengan ajaran agama yang sulit,
Hufffh, beruntung doaku terkabul oleh tuhanku, pak Yoseph terdiam ketika
penjelasan, perbedaan, dan perbandingan panjang lebar aku katakan setelah ia
menyalahkan dengan semangat agama, ia terdiam memandang kosong bergeser dari posisiku, dua puluh lima
menit pak Yoseph tersadar dan
menggerakkan fikirannya menuntun tangan mengukir kata “LULUS” diatas kertas
skripsi terakhir. Kata yang amat bahagia bias tertera mengantarkanku
menggunakan toga dan menggeser pita topi
hitam nanti.
~~~~~~~~
“Kok
kamu bisa cepat dapat kerja ya Nur?”“Apalagi kerja kalau aku minta dunia
akhirat juga di kasih.” Ucapku sedikit mempercayakan.“Hah?” Responnya terkejut
merasa heran.“Kan mintanya sama Allah” Terusku tersenyum menatap matanya yang
penuh tanya.
Gerimis malam hari menaikkan udara
dingin, serta mengurangi padatnya kota Bandung sebagai kota tanpa tidur. Amila
tetap menggigil walau kedua tangannya mendekap tubuhnya yang terlihat merasa
dingin. “Udah reda pulang sekarang aja yuk” Ajakku bangkit yang sedari tadi
duduk mendekap tas gendong kerjaku. Rupanya hujan malam ini terasa dingin namun
hangat karena obrolan Amila tadi, hujan telah reda, air yang menggenang di atas
jalan masuk ke sela-sela lubang setiap jalan, menjadikan aspal hitam mengkilap
lesu seperti rambut Amila yang tergerai. “Tin tin tin…., Non!” Klakson
terdengar bersamaan dengan lampu kuning meyorotkan silau ke arah Amila dan aku,
tanganku sedikit menangkis silau lampu depan motor itu di depan wajahku. “Ini
tasku di gendong sama kamu” Aku berikan tasku. “Kan pake motor, jadi biar gak
dingin terus nyampe rumahnya bareng sama tas aku.”Lanjutku. “Iya pak gapapa, terus ntar gimana tas nya
Nur?” Ucap Amila menunjukkan tas yang telah berada membelakangi pundak. “Besok
kirim alamat kamu, nanti aku kesana ambil sekalian pergi ke kantor”. “Kamu
pintar” Ucap Amila tersenyum lagi.“Dari dulu” jawabku tersenyum.“Titip Amila pak, ntar aku nyusul” Teriakku pada pak
Amir yang siap meluncur bersama Amila membonceng di belakang, perlahan motor
pak Amir dan Amila terlihat semaikin jauh dan menghilang, aku menyusul
mengambil motor vario 150 hitam sebagai jagoan di seiap waktu. 100 m terlintas
jalan mengering kembali, mereka yang berteduh di sepanjang jalan entah di bawah
pohon, halted an paying mereka kembali ramai kesana kemari, para pemuda
terlihat di setiap pinggir jalan menyanyikan lagu-lagu dengan petikan gitar,
terasa hidup kembali subur setelah tersiram air hujan.
Ping!
Jl. Panglima muda nomer 28 cirebet 1, papah bilang thanks. Motorku
baru saja diam istirahat, lampu ruang tengah rumah sudah terlihat tak bersinar,
hanya sedikit gorden terbuka membuat celah. Tapi cahaya hp dari pesan Amila
membuat sinar sendiri di wajahku, aku tersenyum melihat pesan Amila yang tak
pernah ku kira. “Nur udah pulang?” Suara ibu membuyarkan senyumku karena merasa
terkejut ibu datang tiba-tiba. “Iya ibu, tadi inggir dulu dari hujan” Jawabku
menghampiri ibu sembari mencium punggung tangan. “Sudah mala mayo masuk”
Malam ini terasa sejuk dan indah
tidurku tak lepas dari sandingan hp yang selalu ku tunggu pesan selanjutnya,
tiga tahun ini aku telah menemukan Amila, setelah lama wisuda dan hanya sebuah
mimpi belaka aku bisa mengalami layak hari ini. Pagi hari sekali aku kembali
mencoba berjuang untuk Amila, alamat yang kemarin malam ia kirim rupanya tak
jauh dari rumahku. Aku datang untuk sekalian langsung berangkat kerja jadi
serapi dan sewangi apapun ibu hanya menyangka aku ingin ke kantor bukan lebih
karena dia_Amila_“Assalamu’alaikum” Teriakku dari luar pagar rumah yang
berlokasi persis alamat yang diberikan Amila, tak ada jawaban dari dalam, atau
mungkin Amila sudah berangkat? Atau tak dengar?.“Permisi!, pagi?!” Teriakku
lagi mengulamgi kalimat lain.“Eh, Nur masuk aja, gerbangnya gak di kunci kok”
Sahut Amila keluar dari pintu rumahnya. Aku masuk memperhatikan sangat seksama,
duduk di kursi coklat dua besar satuan. Aku agak tercengang dengan seisi rumah
Amila sudut ruangan terisi dengan ornamen-ornamen kaligrafi berbagai ayat
Al-Quran. Foto keluarga berjejer bersama foto Amila kecil dahulu, di samping
agak bawah foto Amila terlihat kembali dengan nama “Amila Maria” yang berjejer
yang di depan fotonya, tetapi pagar yang aku jumpai tadi dipenuhi dengan
jejeran salib . apakah keluarga Amila seorang muallaf? Ah, aku berfikir terlalu
jauh tentang pribadinya, sedang dia hanya sebatas pujangga, bukan benar-benar
kekasihku.“Nih minum dulu” Ucap Amila datang membawa secangkir minum.
“Santai aja, papahku gak galak kok” Kata Amila tersenyum memberikan secangkir minum di hadapanku.“Tunggu papah bentar ya Nur, buku kampus kebawa papah”
Hari
ini aku merasa beruntung bertemu kembali dengan Amila, obrolan kami tak
terfokus satu titik, bahkan sesekali mengingat masa lalu saat di kampus, sangat
renyah, tawa Amila terlepas karena konyol dan lucu pembicaraan yang tak sengaja
terulas. Amila
beranjak pergi keluar menjemput papahnya diluar,
bibirnya merekah tersenyum sesekali papahnya berbicara, karena jendela rumah
Amila terlapis gorden putih transparan, sehingga tak terlihat bagiku jelas
sosok Amila dan papahnya. Amila datang mendekap buku tebal di tangannya,
kembali duduk dan meletakkan disamping ia duduk. Papahnya masih berada diluar
mencari sesuatu di dalam mobil, sehingga Amila masuk terlebih dahulu dari
papahnya.“Yuk berangkat sekarang” Ajak Amila masih berseri ceria.“Sekarang?”
Tanyaku heran.“Mau absen aja dari kantor?” Tanya Amila menaikkan alis
kirinya.“Nanti gak bisa bayarin makan siang kamu lagi” Jawabku sembari bangkit
merapihkan baju yang kurasa kusut karena terlalu lama ku duduki. Amila meminta
menggunakan mobilnya untuk pergi ke kantor, ia menyerahkan kunci mobil menandakan
aku yang akan menyetir, aku keluar lebih dulu untuk memarkir mobil agar mudah
keluar dari gerbang. Jalanku berfokus ke depan melihat papah Amila masih berada
setengah badan di dalam mobil, aku menghampiri mencoba menyapa dan
bersalaman.“Om?!” Sapaku mengagetkanya keluar dari kesibukannya.“Pak Yoseph?”
Ucapku terkejut ketika sosok laki sebagai papah Amila membalikkan badan
menghadap ke arahku.“Sssttt lihat nametag nya” Ujarnya menunjukkan nama Abdul
Yusuf menempel di samping kanan dadanya.“Papah kenal Nur?” Tanya Amila di
belakangku.“Dia Nur Einstein, mahasiswa
dulu papah” Ucap papah Amila membuat terkejut Amila dan membuatku tersenyum
malu
“Santai aja, papahku gak galak kok” Kata Amila tersenyum memberikan secangkir minum di hadapanku.“Tunggu papah bentar ya Nur, buku kampus kebawa papah”