Rabu, 28 November 2018

cerpen_yang tidak pernah terduga_

Pertama kali Tersirat
            Pagi ini sinar tak begitu terang, begitupun tak redup, pukul 07.15 hari pagi untukku melakukan keasyikan suasana pagi, kembali memandang dan menikmati awan putih biru dengan cerah karena sinar sang surya. Gelas kopi di tangan terasa hangat ku genggam, sedikit demi sedikit bibir menyeruput menikmati manis pahit kopi yang tak sekali-kali teraduk oleh jari tengahku. Hmm.., nikmat sekali kehangatan yang tak begitu terang. “semua sudah beres” Gumamku tersenyum. Buku-buku dan segala kebutuhan harus menjadi kewajiban tertata sebelum masuk mengantarkan kembali kepada para syuhada disana. Di kampus aku mulai keseharian tanpa henti, yah meski terkadang lelah dan menyerah tapi…entah hal itu pudar seketika Amila datang dengan ramah, dari sudut jalan sudah jelas betul Amila bersama teman-temannya mendatangi kampus. Rambut hitam lurus sebahunya hitam pekat alami, lesungnya menghiasi pipi kiri ketika tersenyum menyapa seseorang. “Nur!, Batutah? Apa kamu tak tertarik dibagian Colombus aja?” Sahut Andre melihat sedikit skripsiku.“Beliau lebih dari yang kamu tawarkan” Jawabku menarik kertas skripsiku.“Tapi tahap terakhir pak Yoseph, kamu mau debat?”“kalau emang iya, aku yang menang” Ujarku tersenyum kecil penuh percaya.
            Skripsi terakhir benar-benar menguras tenaga, emosi dan fikiranku. Andre benar, rupanya pak Yoseph senang berdebat karena beranggap tokoh yang ku pilih skripsi terakhir sejarah ku adalah salah satu tokoh islam yang menurutnya dengan ajaran agama yang sulit, Hufffh, beruntung doaku terkabul oleh tuhanku, pak Yoseph terdiam ketika penjelasan, perbedaan, dan perbandingan panjang lebar aku katakan setelah ia menyalahkan dengan semangat agama, ia terdiam memandang  kosong bergeser dari posisiku, dua puluh lima menit pak Yoseph tersadar  dan menggerakkan fikirannya menuntun tangan mengukir kata “LULUS” diatas kertas skripsi terakhir. Kata yang amat bahagia bias tertera mengantarkanku menggunakan toga dan  menggeser pita topi hitam nanti.
~~~~~~~~
“Kok kamu bisa cepat dapat kerja ya Nur?”“Apalagi kerja kalau aku minta dunia akhirat juga di kasih.” Ucapku sedikit mempercayakan.“Hah?” Responnya terkejut merasa heran.“Kan mintanya sama Allah” Terusku tersenyum menatap matanya yang penuh tanya.
            Gerimis malam hari menaikkan udara dingin, serta mengurangi padatnya kota Bandung sebagai kota tanpa tidur. Amila tetap menggigil walau kedua tangannya mendekap tubuhnya yang terlihat merasa dingin. “Udah reda pulang sekarang aja yuk” Ajakku bangkit yang sedari tadi duduk mendekap tas gendong kerjaku. Rupanya hujan malam ini terasa dingin namun hangat karena obrolan Amila tadi, hujan telah reda, air yang menggenang di atas jalan masuk ke sela-sela lubang setiap jalan, menjadikan aspal hitam mengkilap lesu seperti rambut Amila yang tergerai. “Tin tin tin…., Non!” Klakson terdengar bersamaan dengan lampu kuning meyorotkan silau ke arah Amila dan aku, tanganku sedikit menangkis silau lampu depan motor itu di depan wajahku. “Ini tasku di gendong sama kamu” Aku berikan tasku. “Kan pake motor, jadi biar gak dingin terus nyampe rumahnya bareng sama tas aku.”Lanjutku.  “Iya pak gapapa, terus ntar gimana tas nya Nur?” Ucap Amila menunjukkan tas yang telah berada membelakangi pundak. “Besok kirim alamat kamu, nanti aku kesana ambil sekalian pergi ke kantor”. “Kamu pintar” Ucap Amila tersenyum lagi.“Dari dulu” jawabku tersenyum.“Titip  Amila pak, ntar aku nyusul” Teriakku pada pak Amir yang siap meluncur bersama Amila membonceng di belakang, perlahan motor pak Amir dan Amila terlihat semaikin jauh dan menghilang, aku menyusul mengambil motor vario 150 hitam sebagai jagoan di seiap waktu. 100 m terlintas jalan mengering kembali, mereka yang berteduh di sepanjang jalan entah di bawah pohon, halted an paying mereka kembali ramai kesana kemari, para pemuda terlihat di setiap pinggir jalan menyanyikan lagu-lagu dengan petikan gitar, terasa hidup kembali subur setelah tersiram air hujan.
Ping! Jl. Panglima muda nomer 28 cirebet 1, papah bilang thanks. Motorku baru saja diam istirahat, lampu ruang tengah rumah sudah terlihat tak bersinar, hanya sedikit gorden terbuka membuat celah. Tapi cahaya hp dari pesan Amila membuat sinar sendiri di wajahku, aku tersenyum melihat pesan Amila yang tak pernah ku kira. “Nur udah pulang?” Suara ibu membuyarkan senyumku karena merasa terkejut ibu datang tiba-tiba. “Iya ibu, tadi inggir dulu dari hujan” Jawabku menghampiri ibu sembari mencium punggung tangan. “Sudah mala mayo masuk”
            Malam ini terasa sejuk dan indah tidurku tak lepas dari sandingan hp yang selalu ku tunggu pesan selanjutnya, tiga tahun ini aku telah menemukan Amila, setelah lama wisuda dan hanya sebuah mimpi belaka aku bisa mengalami layak hari ini. Pagi hari sekali aku kembali mencoba berjuang untuk Amila, alamat yang kemarin malam ia kirim rupanya tak jauh dari rumahku. Aku datang untuk sekalian langsung berangkat kerja jadi serapi dan sewangi apapun ibu hanya menyangka aku ingin ke kantor bukan lebih karena dia_Amila_“Assalamu’alaikum” Teriakku dari luar pagar rumah yang berlokasi persis alamat yang diberikan Amila, tak ada jawaban dari dalam, atau mungkin Amila sudah berangkat? Atau tak dengar?.“Permisi!, pagi?!” Teriakku lagi mengulamgi kalimat lain.“Eh, Nur masuk aja, gerbangnya gak di kunci kok” Sahut Amila keluar dari pintu rumahnya. Aku masuk memperhatikan sangat seksama, duduk di kursi coklat dua besar satuan. Aku agak tercengang dengan seisi rumah Amila sudut ruangan terisi dengan ornamen-ornamen kaligrafi berbagai ayat Al-Quran. Foto keluarga berjejer bersama foto Amila kecil dahulu, di samping agak bawah foto Amila terlihat kembali dengan nama “Amila Maria” yang berjejer yang di depan fotonya, tetapi pagar yang aku jumpai tadi dipenuhi dengan jejeran salib . apakah keluarga Amila seorang muallaf? Ah, aku berfikir terlalu jauh tentang pribadinya, sedang dia hanya sebatas pujangga, bukan benar-benar kekasihku.“Nih minum dulu” Ucap Amila datang membawa secangkir minum.
“Santai aja, papahku gak galak kok” Kata Amila tersenyum memberikan secangkir minum di hadapanku.“Tunggu papah bentar ya Nur, buku kampus kebawa papah”
            Hari ini aku merasa beruntung bertemu kembali dengan Amila, obrolan kami tak terfokus satu titik, bahkan sesekali mengingat masa lalu saat di kampus, sangat renyah, tawa Amila terlepas karena konyol dan lucu pembicaraan yang tak sengaja terulas. Amila beranjak pergi keluar menjemput papahnya diluar, bibirnya merekah tersenyum sesekali papahnya berbicara, karena jendela rumah Amila terlapis gorden putih transparan, sehingga tak terlihat bagiku jelas sosok Amila dan papahnya. Amila datang mendekap buku tebal di tangannya, kembali duduk dan meletakkan disamping ia duduk. Papahnya masih berada diluar mencari sesuatu di dalam mobil, sehingga Amila masuk terlebih dahulu dari papahnya.“Yuk berangkat sekarang” Ajak Amila masih berseri ceria.“Sekarang?” Tanyaku heran.“Mau absen aja dari kantor?” Tanya Amila menaikkan alis kirinya.“Nanti gak bisa bayarin makan siang kamu lagi” Jawabku sembari bangkit merapihkan baju yang kurasa kusut karena terlalu lama ku duduki. Amila meminta menggunakan mobilnya untuk pergi ke kantor, ia menyerahkan kunci mobil menandakan aku yang akan menyetir, aku keluar lebih dulu untuk memarkir mobil agar mudah keluar dari gerbang. Jalanku berfokus ke depan melihat papah Amila masih berada setengah badan di dalam mobil, aku menghampiri mencoba menyapa dan bersalaman.“Om?!” Sapaku mengagetkanya keluar dari kesibukannya.“Pak Yoseph?” Ucapku terkejut ketika sosok laki sebagai papah Amila membalikkan badan menghadap ke arahku.“Sssttt lihat nametag nya” Ujarnya menunjukkan nama Abdul Yusuf menempel di samping kanan dadanya.“Papah kenal Nur?” Tanya Amila di belakangku.“Dia Nur Einstein, mahasiswa dulu papah” Ucap papah Amila membuat terkejut Amila dan membuatku tersenyum malu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar